FOCUS GROUP DISCUSSION: MENGENAL DAN MEMAHAMI PERISTIWA GEGER SEPEHI DALAM KOLEKSI PERPUSTAKAAN MUSEUM SONOBUDOYO

Pada tanggal 13 Juni 2025, enam mahasiswa magang Perpustakaan Museum Sonobudoyo telah mengadakan kegiatan Focus Group Discussion dengan topik “Geger Sepehi: Dalam Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo”. Kegiatan ini menyoroti peristiwa Geger Sepehi, momen krusial dalam sejarah lokal Yogyakarta. Narasumber, Siti Mahmudah Nur Fauziah, Kurator Museum Sonobudoyo, memaparkan bahwa meskipun Geger Sepehi berlangsung hanya beberapa hari di tahun 1812, memiliki dampak signifikan dalam upaya penggulingan Sultan Hamengkubuwana II oleh Inggris dan penggantiannya dengan Raden Mas Suroyo (Hamengkubuwana III).

Geger Sepehi, atau dikenal juga sebagai Geger Sepoy adalah peristiwa bersejarah penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh pasukan Inggris pada tahun 1812 dengan tujuan menggulingkan Sri Sultan Hamengkubuwana II. Istilah “Sepehi” sendiri berasal dari kata “Sepoy”, yang merujuk pada tentara India yang bertugas di East India Compagnie (EIC). Kata “Sepoy” ini memiliki akar dari Bahasa Persia “Sepehi”, yang berarti “prajurit”.

Latar belakang peristiwa ini berawal dari ditandatanganinya Perjanjian Tuntang pada 18 September 1811. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara Gubernur Jenderal Belanda Jan Willem Janssens dan Jenderal Inggris Sir Samuel Auchmuty, yang salah satu isinya adalah penyerahan kekuasaan di Jawa dari Belanda kepada Inggris. Setelah itu, Thomas Stamford Raffles ditunjuk oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal Hindia Timur, sebagai Letnan Gubernur Jawa untuk mengatur pemerintah di pulau tersebut. Namun, Sri Sultan Hamengkubuwana II menolak untuk tunduk kepada pemerintahan Inggris, yang kemudian memicu konflik Geger Sepehi.

Kronologi Geger Sepehi bermula pada 15 Juni 1812, ketika Raffles dan pasukannya tiba di Semarang dan Legiun Mangkunegara bergabung dengan mereka. Pada 17 Juni 1812, prajurit dari Kasunanan Surakarta turut bergabung dengan pasukan Raffles. Malam harinya, pasukan Inggris mencoba memasuki Yogyakarta namun berhasil dihalau oleh pasukan Keraton Yogyakarta. Selama tanggal 18-19 Juni 1812, terjadi tembak-nemenbak meriam dan pertempuran lainnya di luar baluwerti keraton. Puncaknya, dini hari 20 Juni 1812, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Kolonel Robert Rollo Gillespie berhasil menjebol dan memasuki Keraton Yogyakarta. Akibatnya, Sri Sultan Hamengkubuwana II dan para pangeran yang menentang Inggris ditangkap, Keraton Yogyakarta diduduki, dan terjadi penjarahan massal di keraton.

Setelah Geger Sepehi, Sri Sultan Hamengkubuwana II diasingkan ke Penang, Malaysia. Putranya, Raden Mas Surojo, kemudian diangkat sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana III dan dipaksa untuk tunduk kepada pemerintah Inggris. Selain itu, Pangeran Notokusumo diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Pakualam I, dan kepadanya diberikan kendali atas wilayah Kadipaten Pakualaman. Sebagai pengingat peristiwa ini, sebuah prasasti bernama Prasasti Geger Sepoy dapat ditemukan di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan.

Dalam diskusi, terungkap bahwa keterbatasan sumber tertulis menjadi kendala utama karena tradisi lisan yang lebih dominan pada masa itu dan catatan yang relatif sedikit. Salah satu sumber yang bisa digali adalah naskah-naskah kuno, meskipun perlu kehati-hatian dalam menelusuri sudut pandangnya. Contohnya adalah buku tentang Tan Jin Sing yang mungkin membahas perannya dalam Geger Sepehi, atau buku tentang raja-raja Jawa yang sayangnya kurang detail. Terkait peristiwa pelengseran Hamengkubuwana II dan Peran Hamengkubuwana III, disebutkan bahwa kontribusi Hamengkubuwana III jarang disinggung karena situasi intrik internal keraton yang kompleks. Konflik internal ini, termasuk proses suksesi yang menjadi tabu untuk dicatat secara terbuka, serta adanya kontrak politik dengan pihak kolonial dalam setiap pengangkatan sultan, menjadi faktor penting.

Dalam menilai keabsahan tulisan, terutama babad yang cenderung diromantisasi, kritik sumber dengan membandingkan berbagai referensi dan menelusuri latar belakang penulis menjadi krusial. Mengenai intrik politik antara Danurejo dan Notokusumo dengan Raden Ronggo, ditegaskan bahwa mereka pro-kolonial dan memiliki ambisi untuk merebut takhta. Sementara itu, keterlibatam Tan Jin Sing dalam membantu pasukan Inggris mengepung keraton diindikasikan memiliki motif politik, yang juga terkait dengan setimen anti-Tionghoa yang sudah ada sejak lama, mengingat kolonial cenderung berpihak pada Tionghoa dibandingkan Bumi Putera.

Dari diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan ketertarikan sejarawan dalam menuliskan sejarah lokal, tidak hanya Geger Sepehi, namun juga topik sejarah lokal lainnya karena tidak dapat dipungkiri bahwasannya sejarah lokal merupakan landasan dari sejarah nasional pula.

sejarah

Writer & Blogger

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Categories

Wellbird Company

Good draw knew bred ham busy his hour. Ask agreed answer rather joy nature admire wisdom.

Tags

Latest Posts

  • All Posts
  • Activities
  • kegiatan
  • penelitian
  • pengabdian

History
Third Building
First Floor Faculty of Cultural Sciences Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Jebres, Surakarta Telp. 0271 635236 Email: ilmusejarah.uns@gmail.com

© 2020 Bachelors Degree in History