Dalam mendukung progam kerja kelompok magang MBKM UNS agar lebih memahami dan terstuktur mengenai digitalisasi dan pengelolaan arsip perusahaan listrik, kelompok magang MBKM UNS di Gedung Arsip PLN Pusat Jakarta melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bersama Pimpinan Gedung Arsip PLN Pusat Jakarta Bapak Asmadi beserta Tenaga Ahli Daya bidang pengelolaan kearsipan Bapak Wahyudi. Pemaparan materi yang dilaksanakan mengangkat tema yakni “PENGELOLAAN ARSIP VITAL DAN INAKTIF PT PLN (PERSERO)”. Mahasiswa-mahasiswi prodi Ilmu Sejarah yang melaksanakan FGD tersebut diberi pembekalan ilmu dan pengetahuan mengenai bagaimana cara pengelolaan arsip dari proses penerimaan arsip, kemudian proses klasifikasi dan verifikasi arsip sesuai dengan divisi yang ada di PT PLN (PERSERO), lalu proses digitalisasi melalui prosedur scanning, dan tempat penyimpanan arsip sesuai dengan prosedur penyimpanan arsip dan klasifikasi box pada arsip-arsip tertentu. Dalam proses pengelolaan dan digitalisasi arsip tentu saja tidak semua orang bisa melakukannya. Dibutuhkan keterampilan dan ketelitian dalam setiap prosedur nya agar mendapat hasil yang maksimal dalam pengelolaan dan digitalisasi arsip. Dalam FGD yang dilakukan kelompok magang MBKM UNS juga diberikan kesempatan untuk melihat langsung proses pengelolaan dan digitalisasi di Gedung Arsip PLN Pusat Jakarta. Termasuk juga ruang penyimpanan arsip yang sangat tertata serta prosedur keamanan apabila terjadi insiden kebakaran yang terjadi di ruang penyimpanan yang sudah terpasang tirai kain yang terletak antar ruangan untuk mencegah api menjalar. Dalam penyimpanan arsip disini diatur juga sistem klasifikasi, keamanan, dan arsip dokumen atau yang disebut SKKAD berdasarkan tingkat kerahasiaan, antara lain, arsip umum/terbuka, terbatas, rahasia, dan sangat rahasia. Oleh karena itu, pengelolan kearsipan sangatlah penting dan memiliki nilai historis tertentu baik untuk kepentingan penelitian maupun arsip yang menjadi sumber data untuk kepentingan hukum. Tak jarang bahwa penyelewengan arsip kerap kali digunakan untuk keuntungan individu maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap individu yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dalam hal kearsiapan untuk selalu menjaga dan merawat arsip-arsip agar tidak terjadi hal yang merugikan bagi suatu perusahaan khususnya PT PLN (PERSERO). Akhir kata, kegiatan FGD ini diharapkan dapat membantu para mahasiswa yang melaksanakan kegiatan magang di Gedung Arsip PLN Pusat Jakarta. Terlebih juga menjadi pengalaman yang berharga yang mana langsung merasakan bagaimana keilmuan sejarah dapat membantu mengelola arsip sebuah perusahaan milik negara yaitu PT PLN (PERSERO).
FOCUS GROUP DISCUSSION: MENGENAL DAN MEMAHAMI PERISTIWA GEGER SEPEHI DALAM KOLEKSI PERPUSTAKAAN MUSEUM SONOBUDOYO
Pada tanggal 13 Juni 2025, enam mahasiswa magang Perpustakaan Museum Sonobudoyo telah mengadakan kegiatan Focus Group Discussion dengan topik “Geger Sepehi: Dalam Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo”. Kegiatan ini menyoroti peristiwa Geger Sepehi, momen krusial dalam sejarah lokal Yogyakarta. Narasumber, Siti Mahmudah Nur Fauziah, Kurator Museum Sonobudoyo, memaparkan bahwa meskipun Geger Sepehi berlangsung hanya beberapa hari di tahun 1812, memiliki dampak signifikan dalam upaya penggulingan Sultan Hamengkubuwana II oleh Inggris dan penggantiannya dengan Raden Mas Suroyo (Hamengkubuwana III). Geger Sepehi, atau dikenal juga sebagai Geger Sepoy adalah peristiwa bersejarah penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh pasukan Inggris pada tahun 1812 dengan tujuan menggulingkan Sri Sultan Hamengkubuwana II. Istilah “Sepehi” sendiri berasal dari kata “Sepoy”, yang merujuk pada tentara India yang bertugas di East India Compagnie (EIC). Kata “Sepoy” ini memiliki akar dari Bahasa Persia “Sepehi”, yang berarti “prajurit”. Latar belakang peristiwa ini berawal dari ditandatanganinya Perjanjian Tuntang pada 18 September 1811. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara Gubernur Jenderal Belanda Jan Willem Janssens dan Jenderal Inggris Sir Samuel Auchmuty, yang salah satu isinya adalah penyerahan kekuasaan di Jawa dari Belanda kepada Inggris. Setelah itu, Thomas Stamford Raffles ditunjuk oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal Hindia Timur, sebagai Letnan Gubernur Jawa untuk mengatur pemerintah di pulau tersebut. Namun, Sri Sultan Hamengkubuwana II menolak untuk tunduk kepada pemerintahan Inggris, yang kemudian memicu konflik Geger Sepehi. Kronologi Geger Sepehi bermula pada 15 Juni 1812, ketika Raffles dan pasukannya tiba di Semarang dan Legiun Mangkunegara bergabung dengan mereka. Pada 17 Juni 1812, prajurit dari Kasunanan Surakarta turut bergabung dengan pasukan Raffles. Malam harinya, pasukan Inggris mencoba memasuki Yogyakarta namun berhasil dihalau oleh pasukan Keraton Yogyakarta. Selama tanggal 18-19 Juni 1812, terjadi tembak-nemenbak meriam dan pertempuran lainnya di luar baluwerti keraton. Puncaknya, dini hari 20 Juni 1812, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Kolonel Robert Rollo Gillespie berhasil menjebol dan memasuki Keraton Yogyakarta. Akibatnya, Sri Sultan Hamengkubuwana II dan para pangeran yang menentang Inggris ditangkap, Keraton Yogyakarta diduduki, dan terjadi penjarahan massal di keraton. Setelah Geger Sepehi, Sri Sultan Hamengkubuwana II diasingkan ke Penang, Malaysia. Putranya, Raden Mas Surojo, kemudian diangkat sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana III dan dipaksa untuk tunduk kepada pemerintah Inggris. Selain itu, Pangeran Notokusumo diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Pakualam I, dan kepadanya diberikan kendali atas wilayah Kadipaten Pakualaman. Sebagai pengingat peristiwa ini, sebuah prasasti bernama Prasasti Geger Sepoy dapat ditemukan di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan. Dalam diskusi, terungkap bahwa keterbatasan sumber tertulis menjadi kendala utama karena tradisi lisan yang lebih dominan pada masa itu dan catatan yang relatif sedikit. Salah satu sumber yang bisa digali adalah naskah-naskah kuno, meskipun perlu kehati-hatian dalam menelusuri sudut pandangnya. Contohnya adalah buku tentang Tan Jin Sing yang mungkin membahas perannya dalam Geger Sepehi, atau buku tentang raja-raja Jawa yang sayangnya kurang detail. Terkait peristiwa pelengseran Hamengkubuwana II dan Peran Hamengkubuwana III, disebutkan bahwa kontribusi Hamengkubuwana III jarang disinggung karena situasi intrik internal keraton yang kompleks. Konflik internal ini, termasuk proses suksesi yang menjadi tabu untuk dicatat secara terbuka, serta adanya kontrak politik dengan pihak kolonial dalam setiap pengangkatan sultan, menjadi faktor penting. Dalam menilai keabsahan tulisan, terutama babad yang cenderung diromantisasi, kritik sumber dengan membandingkan berbagai referensi dan menelusuri latar belakang penulis menjadi krusial. Mengenai intrik politik antara Danurejo dan Notokusumo dengan Raden Ronggo, ditegaskan bahwa mereka pro-kolonial dan memiliki ambisi untuk merebut takhta. Sementara itu, keterlibatam Tan Jin Sing dalam membantu pasukan Inggris mengepung keraton diindikasikan memiliki motif politik, yang juga terkait dengan setimen anti-Tionghoa yang sudah ada sejak lama, mengingat kolonial cenderung berpihak pada Tionghoa dibandingkan Bumi Putera. Dari diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan ketertarikan sejarawan dalam menuliskan sejarah lokal, tidak hanya Geger Sepehi, namun juga topik sejarah lokal lainnya karena tidak dapat dipungkiri bahwasannya sejarah lokal merupakan landasan dari sejarah nasional pula.